Selasa, 30-01-07, 9 malam
5 pasukan gagah-berani-keparat menyerbu CMD dgn kepercayaan diri yang tinggi. Ditambah lagi dengan kehadiran atlet hoki asal Cina (hoki, bukan hockey), Ndoki, semakin mempertebal keyakinan dalam diri mereka.
Ide ke CMD ini datang dari Sat2, yg secara sporadis mengusulkan setelah seharian di Gramedia. Buat yg blum tau, Gramedia Paris Van Java ngadain diskon 30%. Info yg telat emang, karena terakhir hari ini.
Kembali ke laptop, salah, ke CMD. Sekali lagi, buat yg blum tau, CMD refer to Commando Game Center.
Lima orang tersebut segera membeli tiket, membayar, dan dengan langkah antusias menuju medan peperangan.
5 menit berlalu.
Sepi, lawan tampak mengamati dari jauh.
10 menit.
Game 1 dimulai. Pemilihan hero dilakukan setelah mengamati lawan.
15 menit.
Firstblood, entah oleh siapa dan untuk siapa.
.
.
.
40 menit.
“Gmn rekan2 mahasiswa? Kita sudahi saja perlawanan mereka?”, dgn pongahnya salah satu dari mereka berkata.
“Tar ah, gw masih enak creping nih”
“Iya, gw ke wc dulu ah”
[Tukang Komentar/TK] Mang di medan perang ada wc?
“Mang, nasi goreng satu, ga pedes, ga pake kerupuk, ga pake lama.”
[TK] Gila tuh mang nasgor, jualan di medan perang.
69 menit.
Akhirnya, mereka berhasil memenangkan peperangan yg berlangsung sangat tidak seru itu.
Game 2.
Mereka menemukan lawan yg sepadan. Setidaknya untuk 15 menit pertama.
Berikutnya?
Kekalahan tampak tinggal menghitung menit. Diawali oleh beberapa tipu muslihat yang gagal diterapkan, strategi dinamisasi yg berbuah kematian, ditambah lagi blunder2 yang entah disengaja atau tidak, tampak sangat goblok.
Dan, bisa ditebak, tidak cukup sejam mereka takluk, itupun dah memohon2 ampun.
Satu hal yang patut digarisbawahi, kehadiran “legendary lich” dalam game ke 2 tidak membawa peperangan ke arah yg lebih baik. Justru malapetaka. Dgn tidak membunuh sama sekali (0 – …, kill status), itu sama saja mencoreng nama baik yang telah dibangun selama 3 tahun.
Game 3.
“Okeh, serius nih”
“Ya dah, gw jg serius”
“Nasi goreng gw jg dah abis”
“Sama, kantong kemih gw jg masih kosong”
Namun tampaknya, pemilihan hero2 yang telah kaya pengalaman tidak berbuah hasil. Okeh, emang menit2 awal mereka tampak mendominasi di setiap sudut medan tempur. Bukan, cuma di sudut kiri dan tengah doang. Pasukan sayap kanan tampak agak kepayahan. Beberapa kali pergantian line dilakukan, baik untuk membantu ataupun sekedar menyaksikan kematian rekan seperjuangan dgn muka tanpa dosa.
Malang tak dapat dipungkiri. Takdir berkata blum saatnya.
Kekalahan untuk yang kedua kalinya.
Mereka digotong dari medan tempur tanpa daya, lunglai, ketakberdayaan terpancar di sorot mata masing-masing dari mereka. Satu persatu mereka saling menatap. Seakan tidak percaya akan apa yg baru saja dialami.
Mro melihat ke ditsky. Ditsky menoleh ke ndoki, matanya seolah berkata, “Dok, engkau masih seperti yang dulu.” Alah…
Berbicara mengenai atlet hoki ini, memang disadari tidak ada yang berubah. Gaya permainan yang sarat kontroversial dan cenderung anarkis terkadang (klo ga mo dibilang selalu) menjelma menjadi bumerang. Kematiannya yang sering berbau offside tidak sedikit disebabkan oleh teknik menyerangnya yg apa adanya dan memang begitulah adanya.
Ditengah keheningan, gw sadar ini adalah kutukan. TA yg blum beres. Blum terjamah.
“Kayaknya tempat kita bukan disini lagi. It’s time to do TA, not doTA”, gw mencoba meniru sosok cendekiawan semacam Socrates, tapi bayang-bayang Tukul tidak dapat gw singkirkan.
“Iya, dah cupu nih. TA blum maju2 lagi”
“Capek ah. Balik yuk”
“Yeah, yukkk”